Nama Rosihan Anwar begitu melegenda di dunia
jurnalistik. Namanya juga dikenal dalam dunia budaya dan sastra. Julukan ‘A
footnote of history‘ pernah dilekatkan pada sosoknya. Di usia 89 tahun,
sang catatan kaki sejarah itu menutup sejarah hidupnya.
Rosihan lahir di Kubang Nan Dua, Solok,
Sumatera Barat, pada 10 Mei 1922. Dia merupakan sosok di segala zaman.
Bagaimana tidak, sejak era kolonial hingga pasca reformasi, pria yang akrab
disapa Pak Ros ini aktif menulis. Dalam sebuah wawancaranya dengan harian The
Jakarta Post, Pak Ros memang sempat berujar, “Saya akan terus menulis dan
berhenti saat mati.”
Karier jurnalistiknya dimulainya saat berusia
20 tahun. Hingga kini, tak kurang dari 20 judul buku dan ratusan artikel
karyanya menghiasi koran dan majalah tanah air dan bahkan penerbitan asing.
Pak Ros pernah menempuh pendidikan di sekolah
rakyat (HIS) dan SMP (MULO) di Padang. Pendidikannya kemudian diteruskan ke AMS
di Yogyakarta. Rosihan juga mengikuti berbagai workshop di dalam dan di luar
negeri. Workshop yang diikutinya antara lain digelar di Yale University dan
School of Journalism di Columbia University, New York, Amerika Serikat.
Dari wikipedia, Rosihan memulai karier
jurnalistiknya sebagai reporter Asia Raya di masa pendudukan Jepang tahun 1943
hingga menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan Pedoman (1948-1961). Di
masa penjajahan, Rosihan pernah disekap kolonial Belanda di Bukitduri, Jakarta
Selatan.
Sedangkan di masa Orde Lama, koran miliknya
yang bertajuk ‘Pedoman’ ditutup oleh rezim saat itu di tahun 1961. Saat Orde
Baru, Rosihan pernah mendapat anugerah Bintang Mahaputra III, bersama tokoh
pers Jakob Oetama. Sayangnya, kurang dari setahun sejak mendapat penghargaan
itu, rezim Orde Baru menutup ‘Pedoman’ di tahun 1974.
Anak keempat dari sepuluh bersaudara putra
Anwar Maharaja Sutan yang merupakan seorang demang di Padang, Sumatera Barat
ini menjabat Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) selama 6 tahun,
sejak 1968. Dia pun pernah berkecimpung di dunia film, dengan mendirikan
Perusahaan Film Nasional (Perfini) pada 1950 bersama Usmar Ismail.
Dunia aktor pernah dicicipinya dengan bermain
sebagai figuran dalam film Darah dan Doa. Rosihan juga sempat menjadi produser
film Terimalah Laguku. Di dunia penulisan buku, Sejarah Kecil (Petite Histoire)
Indonesia Jilid IV menjadi buku terakhir yang ditulisnya.
Rosihan juga gemar menulis puisi. Puisinya
banyak dimuat di surat kabar Asia Raya, Merdeka, dan majalah mingguan politik
dan budaya Siasat. Salah satu puisi yang dikenal masyarakat luas adalah puisi
tentang melawan korupsi. “Aku Tidak Malu Jadi Orang Indonesia. Biar orang
bilang apa saja, biar, biar. Indonesia negara paling korup di dunia. Indonesia
negara gagal. Indonesia negara lemah. Indonesia melanggar HAM,” demikian
petikan puisi itu.
“Sorry ya, aku tidak malu jadi orang
Indonesia,” ucap Rosihan dalam puisinya itu. Dan Kamis (14/4/2011), pria yang
oleh S Tasrif, SH, seorang tokoh pers dan ahli hukum senior, dijuluki ‘A
footnote of history’ (sebuah catatan kaki dalam sejarah) sudah pergi dan tidak
akan kembali.
Rosihan menutup mata di usia 89 tahun. Dia
meninggalkan 3 anak hasil pernikahannya dengan Siti Zuraidah Binti Moh Sanawi
yang telah terlebih dahulu menghadap Sang Khalik. Meski begitu, Rosihan akan
tetap ‘hidup’ melalui catatan-catatan karya sepanjang hidupnya. Ya, sebab
sejarah negeri ini pernah diabadikannya dalam tulisan.
Profil
H. ROSIHAN ANWAR
Lahir: Kubang Nan Duo, Solok, Sumatera Barat,
10 Mei 1922
Agama: Islam
Pendidikan:
- HIS, Padang (1935)
- MULO, Padang (1939)
- AMS-A II, Yogyakarta (1942)
- Drama Workshop, Universitas Yale, AS (1950)
- School of Journalism, Columbia University New York, AS (1954)
Karir:
- Reporter Asia Raya, (1943-1945)
- Redaktur harian Merdeka, (1945-1946)
- Pendiri/Pemred majalah Siasat (1947-1957)
- Pendiri/Pemred harian Pedoman, (1948-1961)
- Pendiri Perfini (1950)
- Kolumnis Business News, (mulai 1963)
- Kolumnis Kompas, KAMI, AB (1966-1968)
- Koresponden harian The Age, Melbourne, harian Hindustan Times New Delhi, Kantor Berita World Forum Features, London, mingguan Asian, Hong Kong (1967-1971)
- Pemred harian Pedoman, (1968-1974)
- Koresponden The Straits, Singapura dan New Straits Times, Kuala Lumpur (1976-1985)
- Wartawan Freelance (mulai 1974)
- Kolumnis Asiaweek, Hong Kong (mulai 1976)
- Ketua Umum PWI Pusat (1970-1973)
- Ketua Pembina PWI Pusat (1973-1978)
- Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat (mulai 1983)
Kegiatan Lain:
- Wakil Ketua Dewan Film Nasional (mulai 1978)
- Anggota Dewan Pimpinan Harian YTKI (mulai 1976)
- Committee Member AMIC, Singapore (mulai 1973)
- Dosen tidak tetap Fakultas Sastra Universitas Indonesia (mulai 1983)
Karya:
- Ke Barat dari Rumah, 1952
- India dari Dekat, 1954
- Dapat Panggilan Nabi Ibrahim, 1959
- Islam dan Anda, 1962
- Raja Kecil (novel), 1967
- Ihwal Jurnalistik, 1974
- Kisah-kisah zaman Revolusi, 1975
- Profil Wartawan Indonesia, 1977
- Kisah-kisah Jakarta setelah Proklamasi, 1977
- Jakarta menjelang Clash ke-I, 1978
- Menulis Dalam Air, autobiografi, SH, 1983
- Musim Berganti, Grafitipers, 1985
Tidak ada komentar:
Posting Komentar