letakkan Script Iklan anda disini

Senin, 13 Februari 2012

Sebuah Pengakuan

Widya Arum dalam sebuah pementasan baca puisi
Cerpen : Widya Arum

Setelah menikmati acara seni gabungan para BMI di Hotung secondary  school, aku dan beberapa teman duduk-duduk santai di lapangan rumput taman Victoria park. Aku jadi kenal dengan teman-teman dari grup dancer, penulis dan lain-lain. Ada yang paling istimewa dari sekian banyak yang aku kenal. Yaitu Ari, si tomboy yang jago bikin puisi juga nge-dance. Ariyanti nama lengkapnya, jadi nama Ari memang asli pemberian ibunya. Bahkan dia bilang di kampungnya juga di panggil begitu. Bukan seperti anak-anak tomboy lain, ada David, Alex, ataupun Arya yang mungkin mereka buat untuk menyesuaikan dengan  penampilan mereka. Masa iya dandanan yang super keren, bahkan kadang mirip preman namanya purnamasari atau rosa, hihi kan lucu jadinya. Tidak apa-apa sih, namanya juga hidup. Hidup adalah pilihan. Aku suka dengan mereka para tomboy yang aktif berkreasi. Apalagi melihat mereka nge-dance di atas panggung dengan enerjiknya menggerakkan tubuh. Hemm, beban kerja di majikan sirna seketika.
Keistimewaan itu tumbuh, bermula sejak aku duduk bersebelahan dengan dia. Kemudian teman-teman menjodohkan kami dan membujuk berperan sebegai sepasang kekasih di facebook. Kamipun oke saja, demi memenuhi hasrat Dewi sang fotografer yang ingin membuat album berjudul “cinta terlarang”. Kamipun jadi korbannya, aku yang berjilbab dipeluk Ari si tomboy. Its okeylah, karena motretnya dari belakang, jadi tidak takut kalau namaku tercemar,halah sok ngartis. Toh Ari masih muhrim denganku, jadi mau aja di peluk-peluk, gak bakal hamil.
Lama-kelamaan mengalirlah persahabatan antara kami. Aku jadi tahu kalau dia dulu seorang lesbian. Begitulah, dandanan tomboy selalu identik dengan lesbi, padahal banyak juga yang hanya penampilan. Telah setahun dia menjomblo sejak putus dengan perempuannya. Hanya satu itulah perempuannya, yang golongan mereka sering menyebut ‘bojo’.
Rupanya ini adalah suatu tantangan bagiku, untuk mengembalikan dia menjadi perempuan seperti sediakala, normal. Aku sangat berharap, perempuannya itu adalah yang pertama dan terakhir. Walaupun sudah menjomblo satu tahun aku yakin dia belum sepenuhnya lepas dari belenggu kelaki-laikan. Aku ingin jadi sahabat yang baik, yang bisa melipur di setiap laranya, menyeka dukanya. Sedikit demi sedikit aku ingin menyeretnya kembali mengingat kebesaran Tuhan. Bahwa hidup ini akan bermakna kalau kita tahu dan bisa bagaimana mensyukuri apa yang diberikan Sang pencipta. Meski aku juga hanya manusia biasa yang kadang juga mengeluh. Aku ingin persahabatan yang saling menemani dan saling mengingatkan.
“Sayang, cepet mandi  trus bobok. Katanya tadi capek, nggak usah begadang. Udah nyiapin buat makan sahur kan?” seperti biasa dia akan sms aku jika habis libur.
“Iya, makasih. Nanti nemenin aku sahur kan? Nemenin puasa sekalian,” balasku.
“Enakan tidur.”
“Huh, nggak setia!”
Itulah yang paling ku suka dari dia, selalu mengingatkanku yang selalu lupa akan hari senin. Setelah ada dia, puasa senin-kamisku tidak pernah bolong. Dia juga serimg sms-in aku kalau masuk waktu sholat. Tapi dia sendiri tidak sholat. Bahkan sering ku hardik dia dengan pepatah, “kau itu seperti lilin. Menerangi yang lain, tapi tubuhmu sendiri terbakar.” Tapi toh tidak ber-efek, mungkin belum. Aku tahu untuk keluar dari jurang sangatlah sulit. Perlu perjuangan keras jika ingin menolong teman yang telah terjerembab dalam jurang yang curam. Tidak segampang mengulurkan tali, lalu dia pegang, dan aku menarik tali itu. Mungkin aku malah  harus masuk kedalam jurang itu supaya aku tahu bagaimana keadaannya. Dengan begitu aku bisa pelan-pelan mencari jalan keluar. Tapi kebanyakan teman-teman malah terjebak di jurang itu. Semoga aku tidak.
“Ren, kalau udah gajian beli duren yuk,” sms dari dewi di hari sabtu.
“Lagi nyidam ya Wi, beli duren aja kok nunggu gajian, mlarat tenan po? Eh iya, Ari kan besok ngajak ketemuan. Tak minta dia aja suruh mbelikan, kikiki.”
“Sip, pokoke keluarkan rayuan maut. Nggombal dikit nggak papa lah.”
“Iya-iya entar ku keluarkan rayuan serbetku, demi anak yang kau kandung agar nggak ngiler.”
Benar saja, tanpa merayupun Ari mengiyakan permintaanku. Dia memang sahabat yang super perhatian dan dermawan.
Minggu menjelang petang kumpul dengan teman-teman, bersama Ari pula. Duren di depan mata, tak lupa aku kasih ucapan terimakasih lewat kerlingan. Lalu  teman-teman akan tertawa. Kami saling memanggil sayang, demi menghayati peran sebagai sepasang kekasih. Aku pun terbiasa berdekatan dengan dia. Makan disuapin, dipijitin, bahkan besandar di bahunya adalah hal yang biasa. Sekali lagi demi menghayati peran.
Karena ulahku yang seperti itu Dewi pernah protes padaku.
“Kamu kok tega banget sih manfaatin Ari, dia itu terlalu baik padamu, minta apa aja di turuti. Masih minta dipijiti dan bla bla bla...”
“Kalau minta tolong pada orang tuh jangan setengah-setengah, sekalian dong yang banyak.” Jawaban konyol meluncur dari mulutku. Padahal dalam hati gak enak juga sih.
Di tengah-tengah asyiknya ngobrol, Hpku bergetar, ada sms masuk.
“Dek, udah maem belum? Kalau capek cepet pulang.”
Sebelum Ari bertanya, ku kasihkan hpku untuk di bacanya.
“Dari siapa?” tanyanya pendek.
“My husband.”
“Di Indo?”
“Yup.”
Seketika raut wajahnya berubah pias, ada gurat kekecewaan yang ku tangkap.
“Maaf, aku tidak pernah cerita kalau aku punya suami. Masih kelihatan thing-thing kan?” ku kerlingkan mataku, senyum bangga tersungging penuh di bibirku. Teman-teman memang tidak ada yang tahu kalau aku sudah berstatus double.
“Kau membangkitkan luka lama.” Ujarnya pelan.
Kukira dia hanya bercanda. Kata-kata itu tak lebih untuk peran yang kami mainkan, akan lebih seru jika perasaan kami agak terlibat pikirku. Tapi aneh, sejak itu dia berubah, diam, tidak banyak bicara. Apalagi kata panggilan sayang yang selalu dia lontarkan jarang dia ucapkan. Sesampainya di rumahpun, dia tak kunjung sms-in aku seperti biasa. Kini malah aku yang sms-in dia duluan. Tapi jawabannya sungguh datar, tak ada gairah sepertinya.
Malam itu aku tak bisa tidur nyenyak, ada berbagai pertanyaaan berseliweran memenui otak. Mangapa Ari bersikap begitu? Apa dia kecewa karena aku tidak pernah cerita tentang statusku? Atau … ah tidak mungkin. Tidak mungkin dia cemburu. Mana ada Tomboy bisa jatuh cinta pada cewek berjilbab? Atau dia hanya teringat masa lalunya?
Kelelahan berfikir akhirnya kau bisa tidur juga, meski bermimpi aneh-aneh yang membuat diriku terasa capek waktu bangun. Tak sabar untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaanku, begitu selesai menyapu dan mengepel, aku langsung sms Ari.
“Sayang, hari ini repot tidak? Help me. Aku butuh bantuanmu hari ini.” Seperti biasa smsku merajuk. Tak mungkin aku langsung bertanya padanya. Aku ingin menanyakannya lewat pertemuan. Agar ku bisa melihat kejujuran itu di matanya.
“Ada apa?”
“Nanti jam berapa bisa nemuin aku di MTR? biar aku meluncur kesana.”
“Okey jam 11 ya, sekalian aku belanja.”
Benar-benar tak ada kata sayang selarikpun. Aku kok jadi sewot ya.
“Sebenarnya apa yang terjadi denganmu?” tanyaku pada Ari setelah kami bertemu di MTR, tanpa aku harus keluar dari stasiun. Kami berdiri dibatasi pagar penghalang.
“Tidak apa-apa.”
“Kalau tidak apa-apa, mengapa sikapmu jadi kaku gitu? Sejak kamu tahu aku punya suami. Please jujur. Itupun kalau kamu nganggap aku sahabat.”
“Okey, karena kamu memaksa, aku akan jujur. Lukaku yang dulu kembali menganga. Perempuanku yang dulu meninggalkanku karena dia menikah dengan laki-laki.” Kata-katanya melemah, mengandung kepiluan yang mendalam.
“Maaf, jika aku mengingatkanmu pada luka lama. Tapi mengapa imbasnya ke aku? Begitu besarkah salahku? Sehingga kau berubah sedrastis ini?” ku kejar dia dengan pertanyaan yang mulai bernada emosi.
“Tidak. Kamu tidak salah. Aku yang salah.”
Dahiku berkerut. Ku tatap dia penuh tanda tanya.
“Tak seharusnya aku mencintaimu.”
“Hahahaha…” aku malah tertawa lebar, orang-orang memandangku.
“Tidak lucu! kita sudah ngerjain teman-teman, dan sekarang kamu mau ngerjain aku? Nggak lucu banget.” Aku masih menahan tawa di perutku.
“Aku tidak bercanda Reni Sayang, bukankah kamu pernah bilang bahwa cinta tak harus memiliki. Aku cukup bahagia melihat kamu tertawa, aku cukup bahagia dengan mencurahkan perhatian padamu. Aku memang sengaja menyembunyikannya darimu, karena aku benar-benar takut kehilanganmu kalau kau tahu tentang perasaanku.”
“Ari, please kita haya sahabat bukan?”
“Terserah jika kamu menganggap kita sahabat, tapi aku akan tetap mencintaimu.”
“Ari…” airmataku tak kuasa bergulir dari tempat persembunyiannya. Banyak kata yang ingin ku ucap namun tersendat di kerongkongan pada akhirnya. Perasaanku kalut, kecewa, sedih, karena merasa gagal mengembalikan Ari pada kodratnya, malah aku yang membangkitkan kelaki-lakiannya.
Perlahan dia mengusap lembut airmata di pipiku sambil matanya lekat menatapku. Ketajamannya semakin dalam menghujam, sedalam tatapan mata suamiku padaku.

*) Cerpenis adalah TKI yang kini masih tinggal di Hongkong

Tidak ada komentar:

Posting Komentar